IMAN KEPADA ALLAH
Pengertian
Iman menurut
bahasa berarti percaya. Iman kepada Allah berarti mempercayai dan menyakini Allah.
Sedangkan iman menurut istilah adalah mengucapkan dengan lisan, menyakini dalam
hati dan mengamalkannya dalam perbuatan seperti yang disampaikan
oleh Rasullah Muhammad SAW.
Kita beriman
kepada Allah tidak hanya mengucapkan dalam lisan saja, melainkan harus diyakini
dalam hati dan diamalkan dengan anggota badan berupa amal perbuatan. Karena itu
kita beriman membawa konsekuensi melaksanakan perintah-Nya dengan
menjauhi larangan-Nya.
Iman yang ada
dalam hati kita harus dipupuk sehingga tumbuh subur dan semakin kuat. Jangan
sampai iman lenyap dari hati sanubari kita, karena orang yang tidak beriman
akan tersesat dan akhirnya dicampakkan
keneraka.
Mentaati dan
Menjalankan Perintah Allah
Sesungguhnya
keimanan yang tinggi serta ibadah tasbih dan dzikir kepada Allah saja tidak
cukup. Tapi masih harus disertai dengan ketaatan dan menjalankan
perintah Allah. Jika kita tidak taat dan tidak mau menjalankan perintah Allah,
maka kita termasuk golongan orang yang kafir.
Sebagai contoh:
Iblis. Keimanan Iblis sangat tinggi. Dia sangat yakin akan keberadaan dan
keesaan Allah karena dia pernah berdialog langsung dengan Allah. Dia juga rajin
bertasbih dan berdzikir kepada Allah bersama kumpulan para Malaikat. Namun
karena dia tidak mau menjalankan satu perintah Allah, yaitu sujud kepada Adam,
maka Iblis menjadi orang yang kafir dan dikutuk oleh Allah:
“Dan (ingatlah)
ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka
sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk
golongan orang-orang yang kafir.” [Al Baqarah:34]
Keengganan
Iblis menjalankan perintah Allah karena dalam diri Iblis ada kesombongan. Dia
merasa lebih baik daripada Adam:
“Berkata
Iblis: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia yang Engkau telah
menciptakannya dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang
diberi bentuk
Allah
berfirman: “Keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk, dan
sesungguhnya kutukan itu tetap menimpamu sampai hari kiamat”.” [Al Hijr:33-35]
Akibatnya
Iblis menjadi makhluk yang terkutuk.
Jika Iblis
yang hanya menolak satu perintah Allah saja menjadi kafir dan terkutuk, berapa
banyak ummat Islam yang menolak mentaati banyak perintah Allah dengan sengaja
dan berusaha menghalangi ummat Islam lainnya menjalankan perintah/hukum Allah?
Dalam surat Al
Maa-idah kita diperintahkan untuk menjalankan hukum Allah yang ada di kitab
Sucinya seperti Qishash:
Al Maa-idah:
[5.44]
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan
cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang
Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim
mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara
kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan
janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa
yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir.
[5.45] Dan kami
telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.
Mengapa
orang-orang Yahudi dimurkai Allah? Karena mereka tidak memutuskan perkara
menurut hukum Allah.
Ummat Nasrani
juga dinyatakan sesat dalam surat Al Fatihah karena mereka tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah:
”Dan Kami
iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israel) dengan Isa putra Maryam,
membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah
memberikan kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya
(yang menerangi), dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat.
Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.
Dan hendaklah
orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al
Maa-idah:46-47]
Kemudian ketika
Allah menurunkan Al Qur’an, adakah kita akan memutuskan perkara menurut Al
Qur’an, atau kita mengikuti hawa nafsu manusia?
Ada yang
tertarik dengan ideologi Komunis/Sosialis kemudian membuat paham ”Islam Kiri.”
Padahal Islam sebagai agama yang sempurna sudah mengajarkan kita untuk membantu
dan menolong fakir miskin tanpa membatasi kemampuan seseorang untuk bekerja
atau berproduksi. Meski Komunisme telah gagal di Uni Soviet di mana mayoritas
rakyat tetap miskin dan sering antre makanan sementara para pejabatnya justru
hidup mewah di dacha-dacha mereka, namun tetap ada sebagian ummat Islam yang
mengikuti paham Komunis/Sosialis.
Ada lagi yang
tertarik dengan paham Liberalisme/Kapitalisme Amerika Serikat hingga akhirnya
melabeli Islam dengan ”Liberal” menjadi Islam Liberal. Padahal paham
Liberal/Kapitalisme akhirnya mengakibatkan para pemilik modal meraup untung
sebesar-besarnya dan menindas buruh/karyawan mereka dengan menekan upah mereka
sekecil mungkin. Para pemilik uang juga dengan bebas mengambil kekayaan alam
negara-negara di seluruh dunia seperti minyak, gas, emas, tembaga, dan
sebagainya untuk sebesar-besarnya masuk ke kantong pribadi mereka.
Padahal dalam
Al Qur’an kita dilarang untuk mengikuti hawa nafsu manusia:
”Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di
antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
dan hendaklah
kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah
diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan
menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan
sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.” [Al Maa-idah:48-49]
Hukum manakah
yang lebih baik? Hukum buatan Allah atau buatan makluk Allah yaitu Manusia?
Iblis terkutuk karena merasa lebih baik daripada Adam. Adakah kita merasa bahwa
hukum buatan manusia lebih baik daripada hukum Allah?
„Apakah hukum
Jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al Maa-idah:50]
Agar ummat
Islam dapat menjalankan Hukum Allah, Allah melarang orang-orang yang beriman
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk menjadi pemimpin. Ini masuk
akal. Siapa sih di antara orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mau menjalankan
Hukum Allah? Siapa di antara orang-orang Yahudi dan Nasrani yang mau
menjalankan Syariat Islam atau berjuang untuk mendirikan Negara Islam? Tidak
ada bukan? Justru mereka berusaha menghalangi penegakkan syariat Islam atau
pendirian Negara Islam sekuat mungkin. Mereka hanya boleh jadi pemimpin
kelompok mereka sendiri:
„Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi
sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang lalim.” [Al Maa-idah:51]
Ummat Islam
meski mayoritas saat ini tidak bisa menjalankan hukum Allah. Para penentang
hukum Allah berpendapat bahwa negara kita inikan majemuk/plural. Jadi
tidak bisa hukum Islam dijalankan. Padahal zaman Nabi orang-orang kafir,
Yahudi, dan Nasrani juga sudah ada. Toh mereka tetap bisa menjalankan hukum
Islam:
“Maka kamu
akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik)
bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata: “Kami takut
akan mendapat bencana”. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan
(kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu,
mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.
Dan
orang-orang yang beriman akan mengatakan: “Inikah orang-orang yang bersumpah
sungguh-sungguh dengan nama Allah, bahwasanya mereka benar-benar beserta kamu?”
Rusak binasalah segala amal mereka, lalu mereka menjadi orang-orang yang
merugi.” [Al Maa-idah:52-53]
Karena
itulah Allah memerintahkan ummat Islam untuk bersatu dengan orang-orang yang
beriman. Karena hanya mereka inilah yang mau menjalankan hukum Allah:
Hai
orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang
yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di
jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas
(pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Sesungguhnya
penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan
salat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Dan barang
siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi
penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti
menang.” [Al Maa-idah:54-56]
Ada pun
orang-orang yang mengejek Islam dengan berbagai perkataan jelek seperti
ekstrim, teroris, kuno, dan sebagainya, haram bagi kita untuk mengangkatnya
sebagai pemimpin:
”Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang
yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara
orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir
(orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul
orang-orang yang beriman.” [Al Maa-idah:57]
Sekali lagi
ummat Islam hendaknya tidak berpuas diri. Shalat, puasa,
zakat, haji, serta zikir saja tidak cukup. Tapi kita harus menjalankan semua
perintah Allah karena ini adalah perwujudan dari rukun Islam pertama, yaitu
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
Syahadah tersebut bukan hanya sekedar di bibir saja, tapi mensyaratkan ketaatan
kita pada segala perintah Allah sebagai Tuhan kita dan Muhammad SAW sebagai
utusan Allah. Kita tidak bisa beriman kepada sebagian ayat dan kafir pada
sebagian ayat lainnya karena menganggap ada ayat Al Qur’an yang sudah tidak
relevan lagi dengan zaman sekarang:
”Apakah kamu
beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang
lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan
kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan
kepada siksa yang sangat berat.” [Al Baqarah:85]
Iman Kepada Allah (Tauhid dan
Tanzih)
1. Dalil-Dalil Tentang Iman Kepada
Allah
Firman Allah SWT:
Wahai orang yang beriman; berimanlah kamu kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan kitab yang telah diturunkan sebelumnya. Barangsiapa kafir (tidak beriman) kepada Allah, malaikat-Nya. kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan Hari Akhirat, maka sesungguhnya orang itu sangat jauh tersesat. QS. an-Nisaa' (4): 136.
Dan Tuhan itu, Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain Dia. Yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. QS. al-Baqarah (2): 163.
Allah itu tunggal, tidak ada Tuhan selain Dia, yang hidup tidak berkehendak kepada selain-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Bukankah tidak ada orang yang memberikan syafaat di hadapan-Nya jika tidak dengan seizin-Nya? Ia mengetahui apa yang di hadapan manusia dan apa yang di belakang mereka, sedang mereka tidak mengetahui sedikit jua pun tentang ilmu-Nya, kecuali apa yang dikehendaki-Nya. Pengetahuannya meliputi langit dan bumi. Memelihara kedua makhluk itu tidak berat bagi-Nya. Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. QS. al-Baqarah (2): 255.
Dialah Allah, Tuhan Yang Tunggal, yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui perkara yang tersembunyi (gaib) dan yang terang Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dialah Allah, tidak tidak ada Tuhan selain Dia, Raja Yang Maha Suci, yang sejahtera yang memelihara, yang Maha Kuasa. Yang Maha Mulia, Yang Jabbar,lagi yang Maha besar, maha Suci Allah dari segala sesuatu yang mereka perserikatkan dengannya. Dialah Allah yang menjadikan, yang menciptakan, yang memberi rupa, yang mempunyai nama-nama yang indah dan baik. Semua isi langit mengaku kesucian-Nya. Dialah Allah Yang Maha keras tuntutan-Nya, lagi Maha Bijaksana. QS. al-Hasyr (59): 22-24
Dalam Surat Al-Ikhlash, yang
mempunyai arti:
"Katakanlah olehmu (hai
Muhammad): Allah itu Maha Esa. Dialah tempat bergantung segala makhluk dan
tempat memohon segala hajat. Dialah Allah, yang tiada beranak dan tidak
diperanakkan dan tidak seorang pun atau sesuatu yang sebanding dengan Dia." QS. al-Ikhlash (112): 1-4.
Sabda RasululIah SAW:
Katakanlah olehmu (wahai Sufyan, jika kamu benar-benar hendak memeluk Islam): Saya telah beriman akan Allah; kemudian berlaku luruslah kamu. (HR. Taisirul Wushul, 1: 18).
Manusia yang paling bahagia memperoleh syafaat-Ku di hari kiamat, ialah: orang yang mengucapkan kalimat La ilaha illallah. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12).
Barangsiapa mati tidak memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk surga. Dan barangsiapa mati tengah memperserikatkan Allah dengan sesuatu, pasti masuk neraka. (HR. Muslim, Taisirul Wushul, 1: 12.
2. Pengertian Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah ialah:
1. Membenarkan dengan yakin akan adanya
Allah;
2. Membenarkan dengan yakin akan keesaan-Nya,
baik dalam perbuatan-Nya menciptakan alam makhluk seluruhnya, maupun dalam
menerima ibadat segenap makhluk-Nya;
3. Membenarkan dengan yakin, bahwa
Allah bersifat dengan segala sifat sempurna, suci dari segala sifat kekurangan
dan suci pula dari menyerupai segala yang baharu (makhluk).
Demikianlah pengertian iman akan
Allah, yang masing-masing diuraikan dalam pasal-pasal yang akan datang.
Perlu dijelaskan lebih dahulu,
bahwa membenarkan dalam pengertian iman seperti yang tersebut
di atas, ialah suatu pengakuan yang didasarkan kepada makrifat. Karena itu
perlulah kiranya diketahui dahulu akan arti dan kedudukan makrifat itu.
Makrifat ialah: "Mengenal Allah
Tuhan seru sekalian alam" untuk mengenal Allah, ialah dengan memperhatikan
segala makhluk-Nya dan memperhatikan segala jenis kejadian dalam alam ini.
Sesungguhnya segala yang diciptakan Allah, semuanya menunjukkan akan
"adanya Allah". memakrifati Allah, maka Dia telah menganugerahkan
akal dan pikiran. Akal dan pikiran itu adalah alat yang penting untuk
memakrifati Allah, Zat yang Maha Suci, Zat yang tiada bersekutu dan tiada yang
serupa. Dengan memakrifati-Nya tumbuhlah keimanan dan keislaman. Makrifat
itulah menumbuhkan cinta, takut dan harap. Menumbuhkan khudu' dan
khusyuk didalam jiwa manusia. Karena itulah makrifat dijadikan sebagai pangkal
kewajiban seperti yang ditetapkan oleh para ahli ilmu Agama. Semuanya
menetapkan:"Awwaluddini, ma'rifatullah permulaan agama, ialah
mengenal Allah". Dari kesimpulan inilah pengarang az-Zubad merangkumkan
syairnya yang berbunyi:
Permulaan kewajiban manusia, ialah mengenal akan Allah dengan keyakinan yang teguh.
Dalam pada itu, harus pula
diketahui, bahwa makrifat yang diwajibkan itu, ialah mengenali sifat-sifat-Nya
dan nama-nama-Nya yang dikenal dengan al-Asmaul Husna (nama-nama
yang indah lagi baik). Adapun mengetahui hakikat Zat-Nya, tidak dibenarkan,
sebab akal pikiran tidak mampu mengetahui Zat Tuhan. Abul Baqa al-'Ukbary
dalam Kulliyiat-nya menulis: "ada dua martabat Islam: (l) di
bawah iman, yaitu mengaku (mengikrarkan) dengan lisan, walaupun hati tidak
mengakuinya; dan (2) di atas iman, yaitu mengaku dengan lidah mempercayai
dengan hati, dan mengerjakan dengan anggota".
Sebagian besar ulama Hanafiyah dan
ahli hadits menetapkan bahwa iman dan Islam hanya satu. Akan tetapi Abul Hasan
al-Asy'ari mengatakan: Iman dan Islam itu berlainan".
Abu Manshur al-Maturidi berpendapat,
bahwa: "Islam itu mengetahui dengan yakin akan adanya Allah, dengan tidak
meng-kaifiyat-kan-Nya dengan sesuatu kaifiyat, dengan tidak
menyerupakan-Nya dengan sesuatu pun dari makhluk-Nya. Tempatnya yang tersebut
ini, ialah dalam hati. Iman ialah mempercayai (mengetahui) akan ketuhanan-Nya
dan tempatnya ialah di dalam dada (hati). Makrifat ialah mengetahui Allah dan
akan segala sifat-Nya. Tempatnya ialah di dalam lubuk hati (fuad).
Tauhid ialah mengetahui (meyakini) Allah dengan keesaan-Nya. Tempatnya ialah di
dalam lubuk hati dan itulah yang dinamakan rahasia (sir).
Inilah empat ikatan, yakni: lslam,
iman, makrifat, dan tauhid yang bukan satu dan bukan pula berlainan. Apabila
keempat-empatnya bersatu, maka tegaklah Agama.
3. Cara Mengakui Ada-Nya Allah
Mengakui ada-Nya Allah, ialah:
"Mengakui bahwa alam ini mempunyai Tuhan yang wajib wujud (ada-Nya),
yang qadim azali, yang baqi (kekal), yang tidak
serupa dengan segala yang baharu. Dialah yang menjadikan alam semesta dan
tidaklah sekali-kali alam ini terjadi dengan sendirinya tanpa diciptakan oleh
yang wajib wujud-Nya itu".
Demikianlah ringkasan cara
mengetahui akan ada-Nya Allah, Sang Maha Pencipta dan Maha Pengendali alam yang
sangat luas dan beraneka ragam ini.
4. Cara Menetapkan Ada-Nya Allah
Agama Islam menetapkan ada-Nya Tuhan
(Wujudullah) dengan alasan yang jitu dan tepat, yang tidak dapat
dibantah dan disanggah; karena alasan yang dikemukakan oleh Agama Islam
(al-Qur'an) adalah nyata, logis (manthiqy) dan ilmiah.
Dalailul Wujud atau Dalailut Tauhid ini
dibahas dalam kitab-kitab ilmu kalam, karenanya baiklah kita tinjau lebih
dahulu keadaan perkembangan ilmu kalam itu.
4.1. Aliran Kitab Tauhid
Untuk menjelaskan dalil-dalil yang diperlukan dalam
menetapkan dasar-dasar aqidah, para ulama tauhid (ulama kalam), dari abad ke
abad terus-menerus menyusun berbagai rupa kitab tauhid dan kitab kalam.
Dalam garis besarnya kitab-kitab tersebut terbagi atas tiga
aliran:
(1) Aliran Salafi atau Ahlun Nash. Di antara pemukanya ialah
Imam Ahmad Ibn Hanbal.
(2) Aliran Ahlul I'tizal (Mu'tazilah) yang dipelopori oleh
Washil ibn 'Atha'.
(3) Aliran Asy'ari, yang dipelopori oleh Abul Hasan
al-Asy'ari. jejaknya berturut-turut diikuti oleh Abu Bakar al-Baqillani,
al-Juani, al-Ghazali, Ibnul Kathib, al-Baidawi dan ulama-ulama lain seperti
ath- Thusi, at-Taftazani dan al-Ijzi.
Di samping itu ada pula aliran Maturidi, yang dipelopori
oleh Abu Manshur al-Maturidi.
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2
Cuma yang disayangkan ialah kebanyakan kitab-kitab yang disusun belakangan, tidak berdasarkan Salafi dan tidak pula berdasarkan nadhar yang benar. Setengahnya ada yang mendasarkan kepercayaan kepada dalil-dalil yang dapat dibantah oleh para filosof dan tidak dapat dipertahankan.2
4.2. Pengertian Ilmu Tauhid
Ada
beberapa ta'rif ilmu tauhid yang diberikan oleh para ulama. Di bawah ini
disebutkan beberapa diantaranya yang dipandang tepat dengan yang dimaksud.
Pertama: Ilmu tauhid, ialah "ilmu yang
membahas dan melengkapkan segala hujjah, terhadap keimanan, berdasarkan
dalil-dalil akal serta menolak dan menangkis segala paham ahli bid'ah yang
keliru, yang menyimpang dari jalan yang lurus".
Kedua: Ilmu tauhid, ialah ilmu yang di
dalamnya dibahas:
[1]
Tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya yang wajib di-itsbat-kan bagi-Nya,
sifat-sifat yang harus (mumkin)bagi-Nya dan sifat-sifat yang wajib
ditolak daripada-Nya.
[2]
Tentang kerasulan rasul-rasul untuk membuktikan dan menetapkan kerasulannya;
tentang sifat-sifat yang wajib baginya; sifat-sifat yang mumkin dan
tentang sifat-sifat yang mustahil baginya.
Ta'rif
pertama, memasukkan segala soal keimanan, baik mengenai ketuhanan, kerasulan,
maupun mengenai soal-soal gaib yang lain, seperti soal malaikat dan akhirat.
Tegasnya, melengkapi Ilahiyat, (soal-soal ketuhanan), nubuwwat (kenabian,
kitab, malaikat) dan Sam'iyat (soal-soal keakhiratan, alam gaib). Ta'rif yang
kedua mengkhususkan ilmu tauhid dengan soal yang mengenai ketuhanan dan
kerasulan saja.
Dengan
berpegang pada ta'rif yang pertama, maka sebahagian ulama tauhid membahas
soal-soal malaikat, soal-soal kitab, soal-soal kadar, soal-soal akhirat, dan
lain-lain yang berhubungan dengan soal beriman di bagian akhir dari kitab-kitab
mereka.
Ulama
yang berpegang pada ta'rif yang kedua, hanya membahas soal-soal yang mengenai
ketuhanan dan kerasulan saja. Risalah Tauhid Muhammad Abduh
yang sangat terkenal dalam dunia ilmu pengetahuan adalah salah satu dari kitab
yang berpegang pada takrif kedua.3
4.3. Perkembangan
Ilmu Tauhid Dalam Sejarah Dan Cara Al-Qur'an Membicarakannya
Ilmu
yang membahas dasar-dasar iman kepada Allah dan Rasul, telah sangat tua
umumnya. Di setiap umat sejak zaman purba, ada ulamanya yang membahas ilmu ini.
Cuma, mereka dahulu tidak mendasarkan penerangan-penerangan yang mereka
ajarkan, kepada alasan-alasan akal; bahkan mereka kurang sekali mendasarkan
kepercayaan kepada hukum dan karakter alam.
Al-Qur'an
yang didatangkan untuk menyempurnakan segala yang masih kurang, segala yang
belum sempurna, memakai cara dan sistem berpadanan dengan perkembangan akal dan
kemajuan ilmu. Al-Qur'an menerangkan iman dengan mengemukakan dalil serta
membantah kepercayaan yang salah dengan memberikan alasan-alasan yang
membuktikan kesalahannya. Al-Qur'an menghadapkan pembicaraannya kepada akal
serta membangkitkan dari tidurnya dan membangunkan pikiran dengan meminta pula
supaya ahli-ahli akal itu memperhatikan keadaan alam. Maka al-Qur'an-lah akal
bersaudara kembar dengan iman.
Memang
diakui oleh ulama-ulama Islam, bahwa diantara "ketetapan agama", ada
yang tidak dapat diitikadkan (diterima kebenarannya) kalau bukan karena akal
menetapkannya, seperti: mengetahui (meyakini) ada-Nya Allah, qudrat-Nya,
ilmu-Nya dan seperti membenarkan kerasulan seseorang rasul. Demikian juga
mereka bermufakat menetapkan, bahwa mungkin agama mendatangkan sesuatu yang
belum dapat dipahami akal. Akan tetapi, mungkin agama mendatangkan yang
mustahil pada akal.
Al-Qur'an
mensifatkan Tuhan dengan berbagai sifat yang terdapat namanya pada manusia,
seperti: qudrat, ikhtiyar, sama', dan bashar.
karena al-Qur'an menghargai akal dan membenarkan hukum akal, maka terbukalah
pintu nadhar (penyelidikan) yang lebar bagi ahli-ahli akal
(ahli-ahli nadhar) itu dalam menetapkan apa yang dimaksud oleh al-Qur'an dengan
sifat-sifat itu. Pintu nadhar ini membawa kepada berwujud berbagai rupa paham
diantara para ahli akal atau nadhar. Perselisihan yang terjadi karena berlainan
nadhar ini, dibenarkan al-Qur'an asal saja tidak sampai kepada meniadakan
sifat-sifat Tuhan, seperti yang diperbuat oleh golongan Mu'aththilah dan
tidak sampai kepada menserupakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk,
sebagai yang dilakukan oleh golongan Musyabbihah.
Para
ulama salah mensifatkan tuhan dengan sifat-sifat yang tuhan sifatkan diri-Nya
dengan tidak meniadakan-Nya, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak
menakwilkannya. Para mutakalimin khalaf mensifatkan Tuhan dengan cara
menakwilkan beberapa sifat yang menurut pendapat mereka perlu ditakwilkan.
Golongan mutakalimin khalaf membantah ta'thil (meniadakan
sifat Tuhan) dan membantahtamsil (menyerupakan sifat Tuhan dengan
sifat rnakhluk).
Ringkasnya,
para salaf beritikad sepanjang yang dikehendaki oleh lafadh. tetapi dengan
mensucikan Allah dari serupa dengan makhluk.
4.4. Kedudukan Nadhar Dalam
Islam
Dalam
kitab Hawasyil Isyarat disebutkan, bahwa nadhar itu
ialah menggunakan akal di sekitar masalah yang dapat dijangkau oleh akal (ma'qulat).
Para
filosof bermufakat, bahwa nadhar itu hukum yang digunakan dalam mengetahui
dalil. Alasan yang menegaskan bahwa nadhar ini sah dan menghasilkan keyakinan,
ialah bahwa dalam alam ini terdapat kebenaran dan kebatalan. Manusia juga
terbagi atas dua macam: Ahli hak dan ahli batal.
Tidak dapat diketahui mana yang hak dan mana yang batal. kalau bukan dengan
nadhar. Dengan demikian maka fungsi nadhar (penelitian) ialah untuk menjelaskan
hal-hal yang gaib agar dapat dicerna oleh akal disamping menentukan mana yang
benar diantara dua pendapat yang berbeda. Melalui nadhar, manusia bisa sampai
pada pengetahuan yang meyakinkan. Untuk mengetahui mana yang hak dan mana yang
batal. mana yang kufur dan mana yang iman, demikian pula untuk mengenal Allah
dan Rasul-Nya lebih jelas haruslah melalui nadhar. Karena itu, bertaklid buta.
Tidak mau lagi melakukan nadhar adalah keliru sesat dan menyesatkan. Dalam
al-Qur'an cukup banyak dijumpai ayat-ayat yang memerintahkan untuk melakukan
nadhar. Diantara-nya ialah:
Katakanlah
ya Muhammad: "Lihatlah apa yang di langit dan di bumi; dan tidak berguna tanda-tanda
dan peringatan-peringatan kepada kaum yang tidak beriman". (QS. Yunus (l0): 10l).
Mengapakah
mereka tidak melihat kepada alam (malakut) langit dan bumi dan kepada apa yang
Allah jadikan?. (QS.
al-A'raf (7): 185).
Maka
ambil ibaratlah wahai ahli akal. (QS. al-Hasyr (59): 2).
Dan
demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim bumi malakut (langit) dan bumi. (QS. al-An'am (6): 75).
Ayat-ayat
tersebut diatas adalah nash yang tegas yang mendorong untuk melakukan nadhar
terhadap segala maujud, dan menjadi nash yang tegas pula yang mewajibkan kita
memakai qiyas 'aqli atau qiyas manthiqi dan sya'i.
Ayat yang terakhir menerangkan, bahwa Allah telah nadhar kepada Ibrahim as.
4.5. Kedudukan Akal Dalam
Pandangan Islam
Dalam
kitab Hawasyil-Isyarat diterangkan bahwa akal itu, ialah
tenaga jiwa untuk memahami mujarradat(sesuatu yang tidak dapat
diraba atau dirasa dengan pancaindera). Kekuatan jiwa yang mempersiapkan untuk
memikir (berusaha), dinamai dzihin. Gerakan jiwa untuk memikir
sesuatu agar diperoleh apa yang dimaksudkan, dinamai fikir.
Tersebut
dalam suatu kitab falsafah: "Akal itu suatu kekuatan untuk mengetahui
makna mujarradat, makna yang diperoleh dari menyelidiki dan
rupa-rupa benda". memperhatikan rupa-rupa benda". Al-Mawardi dalamA'lamun-Nubuwwah menulis:
"Akal itu suatu tenaga yang memberi faedah bagi kita mengetahui segala
yang menjadi kepastiannya". Ada pula yang mengatakan: "Akal itu
kekuatan yang membedakan yang hak dengan yang batal".
Al-Mawardi
membagi akal kepada: gharizi dan kasbi. Gharizi adalah
pokok akal, sedang kasbi adalah cabang yang tumbuh
daripadanya: itulah akal yang dengannya berpaut dan bergantung taklif dan
beribadat. Adapun akal kasbi (akal muktasab),
ialah akal yang digunakan untuk berijtihad dan menjalankan nadhar. Akal ini
tidak dapat terlepas dari akal gharizi, sedang akal gharizi mungkin
terlepas dari akal ini.
4.6. Martabat Akal Dalam
Memahami Hakikat
Para
hukama berpendapat bahwa manusia memahami hakikat dengan jalan: [1] dengan
pancaindera, dalam hal ini manusia sama dengan hewan; dan [2] dengan akal
(rasio).
Mengetahui
sesuatu dengan akal hanya tertentu bagi manusia. Dengan akallah manusia berbeda
dari binatang.
Orang
yang telah biasa memperhatikan soal-soal yang ma'qulat (yang
diperoleh melalui akal) nyata kepadanya kemuliaan dan keutamaan yang
diketahuinya itu. Baginya terang pula bahwa yang diketahui melalui indera
pemandangan akal sama dengan sesuatu yang masib kabur, dibanding sesuatu yang
telah dapat dipastikan baiknya melalui akal. Inilah sebabnya Al-Qur'an dalam
seruannya kepada mengakui ada-Nya Allah dari keesaan-Nya, membangkitkan akal
dari tidurnya. Seruan yang begini, tidak dilakukan oleh umat-umat yang dahulu.
sebagai yang sudah dibayangkan sebelum ini.
4.7. Bukti Kelebihan Dan
Keutamaan Akal Atas Pancaindera
Para
hukama telah membuktikan, bahwa akal lebih mulia dari pancaindera. Apa yang
diperoleh akal lebih kuat dari yang didapati pancaindera.
Alasannya:
[1]
Pancaindera hanya dapat merasa, melihat dan membaui.
[2]
Akal dapat menjelaskan tentang adanya Zat Tuhan. sifat-sifat-Nya dan berbagai soal
yang hanya bisa diperoleh melalui akal, dan berbagai macam pengetahuan hasil
nadhar.
[3]
Akal dapat sampai pada hakikat, sedang pancaindera hanya memperoleh yang lahir
saja, yaitu yang terasa saja.
[4]
Akal tidak berkesudahan, sedang pancaindera adalah berkesudaban (hiss).
4.8. Akal Pokok Pengetahuan
Al-Mawardi
berpendapat, bahwa dalil itu, ialah sesuatu yang menyampaikan
kepada meyakini mad-lul-nya. Dalil-dalil diyakini dengan jalan akal
dan mad-lul-nya diyakini dengan jalan dalil. Tegasnya, akal itu
menyampaikan kepada dalil; dia sendiri bukan dalil. Karena akal itu pokok
segala yang diyakini, baik dalil maupun madlul. Mengingat hal ini
dapatlah dikatakan, akal adalah pokok pengetahuan (al-'aqlu ummul 'ulum).
Ilmu yang diperoleh daripadanya ialah pembeda kebenaran dari kebatalan; yang
shahih yang fasid;yang mumkin dari yang mustahil.
Ilmu-ilmu
yang diperoleh melalui akal, ada dua macam: Idthirari dan Iktisabi.
1.
Ilmu Idthirari, ialah ilmu yang diperoleh dengan mudah, tidak perlu melakukan
nadhar yang mendalam. Ilmu ini terbagi dua: [1] yang terang dirasakan; dan [2]
berita-berita mutawatir.
Ilmu yang dirasakan atau yang
diperoleh dengan hiss, datang sesudah akal, dan ilmu khabar mendahului akal.
Ilmu Idthirari ini, tidak memerlukan
nadhar dan istidal; karena mudah diketahui. Khawwash dan 'awwam dapat
mengetahuinya, ilmu yang diperoleh dengan jalan ini, tidak ada yang
mengingkarinya.
2.
Ilmu Iktisabi, ialah ilmu yang diperoleh dengan jalan nadhar dan istidal. Dia
tidak mudah diperoleh. Ilmu inilah yang memerlukan dalil atau dimintakan
dalilnya.
Ilmu Iktisabi ini terbagi dua juga:
- yang ditetapkan oleh akal (berdasarkan
ketetapan-ketetapan akal).
- yang ditetapkan oleh hukum-hukum
pendengaran (yang diterima dari syara').
Hukum-hukum
yang ditetapkan berdasarkan akal terbagi dua pertama, yang diketahui karena
mengambil dalil dengan tidak berhajat kepada dalil akal (nadhar); kedua,
yang diketahui karena mengambil dalil dengan dalil-dalil akal.
Yang
diketahui dengan tidak perlu kepada dalil akal (nadhar) ialah yang tidak
boleh ada lawannya, seperti keesaan Allah. Dengan sendirinya akal dengan mudah
mengetahui keesaan Tuhan itu. Yang diketahui dengan memerlukan dalil akal,
ialah: yang boleh ada lawannya, seperti seseorang nabi mendakwakan kenabiannya.
Ringkasnya mengetahui atau meyakini keesaan Allah tidak memerlukan akan akal;
sebab dengan mudah akal dapat mengetahuinya. Adapun meyakini kerasulan
seseorang rasul, memerlukan dalil akal.
Ketetapan-ketetapan
yang berdasarkan hukum pendengaran, diterima dari Shahibisy Syari'ah, sedang
akal disyaratkan dalam melazimi ketetapan-ketetapan itu, walaupun pendengaran
tidak disyaratkan dalam soal-soal yang ditetapkan akal semata-mata.
Hukum-hukum
yang ditetapkan oleh pendengaran ada dua macam: yakni: Ta'abbud dan Indzar. Ta'abbudmencakup
larangan dan suruhan. Indzar, mencakup wa'ad dan wa'id.
4.9. Jalan Mengetahui
ada-Nya Allah
Abu
Haiyan mengatakan: Mengetahui ada-Nya Allah adalah daruri, jika
ditinjau dari sudut akal, dan nadaridari sudut hiss pancaindera.
Ilmu
adakala dituntut melalui akal, dalam soal-soal yang dapat dipikirkan (ma'qulat),
adakala dituntut dengan hiss (pancaindera) dalam soal-soal
yang dirasakan. Seseorang manusia bisa memikir, bahwa mengetahui ada-Nya Allah
adalah suatu iktisab (hal yang diperoleh dengan jalan
istidlal): karena hiss itu mencari-cari dan membolak-balikkan masalah dengan
pertolongan akal. Dia dapat pula memikiri, bahwa mengetahui ada-Nya
Allah, daruri; karena akal yang sejahtera menggerakkan manusia
kepada mengakui ada-Nya Allah dan menyalahkan akal mengingkari-Nya.
Al-Farabi
dalam al-Fushush (fash yang empat belas, menulis:
"Anda dapat memperhatikan alam makhluk, kalau anda lihat tanda-tanda
pembuatan. Tetapi juga anda dapat meninjau alam mahad (alam
yang terlepas dari kebendaan), lalu anda yakini, bahwa tidak boleh tidak
ada-Nya Zat. Dan dapat pula anda mengetahui betapa seharusnya sifat-sifat yang
ada pada Zat itu. Kalau anda memandang alam maddah,berarti anda
naik dan kalau anda memperhatikan alam mahad, berarti anda
turun".
No comments:
Post a Comment